SEMARANG, KOMPAS.com — Sumber daya manusia (SDM) dinilai menjadi kendala paling dominan dalam pengembangan rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI). Ada standar-standar plus yang harus dipenuhi oleh RSBI, terutama dalam hal penyediaan SDM pendidiknya yang 30 persen adalah lulusan S-2.
"Kalau terkait fasilitas, sarana, dan prasarana yang dimiliki sekolah-sekolah bertaraf RSBI sudah lebih dari cukup, tetapi terkait kualitas SDM masih menjadi kendala," ungkap Fasilitator Pengembangan Sekolah Menengah Atas (SMA) Berstandar Internasional Direktorat Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan Nasional Soedjono di Semarang, Senin (19/7/2010).
Menurut dia, perbedaan mendasar sekolah RSBI dengan sekolah standar nasional (SSN) adalah terpenuhinya delapan standar nasional pendidikan (SNP) sebab untuk RSBI harus melampaui dari delapan SNP yang, antara lain, adalah tenaga kependidikan, standar prasarana, dan standar pembiayaan.
"Namun, untuk RSBI masih ditambah standar plus yang harus dipenuhi," katanya.
Standar-standar plus yang harus dipenuhi untuk RSBI itu, kata Soedjono, misalnya tenaga guru yang berpendidikan strata dua (S-2) minimal sebesar 30 persen. Menurutnya, hal itu akan berdampak pada pengembangan kualitas pembelajaran.
Namun, kata dia, pengembangan kualitas SDM tersebut sering menjadi kendala dan sulit dicapai, mengingat sekolah RSBI tidak dibentuk dari awal, tetapi diterapkan di sekolah-sekolah yang sudah ada sebelumnya.
"Para guru yang sudah ada di suatu sekolah jauh sebelum sekolah itu ditetapkan sebagai RSBI tentu harus disesuaikan dengan standar-standar plus, misalnya dengan memfasilitasi gurunya melanjutkan kuliah," katanya.
Oleh karena itu, tambah Soedjono, proses pengembangan RSBI tidak bisa diraih dalam waktu singkat karena memang membutuhkan berbagai upaya penyesuaian untuk memenuhi berbagai standar plus yang telah ditetapkan.
Kompas.com, 19 Juli 2010
"Kalau terkait fasilitas, sarana, dan prasarana yang dimiliki sekolah-sekolah bertaraf RSBI sudah lebih dari cukup, tetapi terkait kualitas SDM masih menjadi kendala," ungkap Fasilitator Pengembangan Sekolah Menengah Atas (SMA) Berstandar Internasional Direktorat Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan Nasional Soedjono di Semarang, Senin (19/7/2010).
Menurut dia, perbedaan mendasar sekolah RSBI dengan sekolah standar nasional (SSN) adalah terpenuhinya delapan standar nasional pendidikan (SNP) sebab untuk RSBI harus melampaui dari delapan SNP yang, antara lain, adalah tenaga kependidikan, standar prasarana, dan standar pembiayaan.
"Namun, untuk RSBI masih ditambah standar plus yang harus dipenuhi," katanya.
Standar-standar plus yang harus dipenuhi untuk RSBI itu, kata Soedjono, misalnya tenaga guru yang berpendidikan strata dua (S-2) minimal sebesar 30 persen. Menurutnya, hal itu akan berdampak pada pengembangan kualitas pembelajaran.
Namun, kata dia, pengembangan kualitas SDM tersebut sering menjadi kendala dan sulit dicapai, mengingat sekolah RSBI tidak dibentuk dari awal, tetapi diterapkan di sekolah-sekolah yang sudah ada sebelumnya.
"Para guru yang sudah ada di suatu sekolah jauh sebelum sekolah itu ditetapkan sebagai RSBI tentu harus disesuaikan dengan standar-standar plus, misalnya dengan memfasilitasi gurunya melanjutkan kuliah," katanya.
Oleh karena itu, tambah Soedjono, proses pengembangan RSBI tidak bisa diraih dalam waktu singkat karena memang membutuhkan berbagai upaya penyesuaian untuk memenuhi berbagai standar plus yang telah ditetapkan.
Kompas.com, 19 Juli 2010
Komentar
Posting Komentar